Minggu, 05 Oktober 2014

Laporan Praktikum Ilmu Ukur Tanah BAB.2

BAB II
PENGENALAN ALAT
2.1       Umum
Pengukuran situasi ialah serangkaian pengukuran suatu daerah dengan cara menentukan objek-objek penting berdasarkan unsur sudut dan jarak dalam jumlah yang cukup. Prinsip pengukuran dalam hal ini adalah dengan sistem grafis. Jenis pengukuran menggunakan alat sederhana seperti : kompas, jalon, pita ukur, statif, rambu tripod, pilox, papan data dan alat tulis.
Pada pengukuran terdapat dua jenis unsur pengukuran yaitu jarak dan sudut. Unsur jarak diklasifikasikan menjadi dua yaitu jarak mendatar dan beda tinggi (∆h). Sedangkan unsur sudut dibagi menjadi sudut horizontal, vertikal dan jurusan.
2.2       Alat Ukur Sifat Datar
Alat ukur sipat datar (waterpass) dirancang dengan konstruksi yang sedemikian rupa agar sesuai dengan fungsinya, yaitu mengukur beda tinggi antara dua titik atau lebih dipermukaan bumi. Pada alat ukur sipat datar, ketelitiannya bergantung pada nivo kotak dan pembesaran teropongnya. Kepekaan nivo kotak ditentukan oleh jari-jari busur nivo kotak tersebut. Makin besar jari-jari busur nivo kotak tersebut, maka kepekaannya juga semakin tinggi.
Pada dasarnya alat ukur sipat datar terdiri dari 3 komponen penting yaitu :
1.     Bagian bawah yang tidak dapat bergerak dan berlandaskan pada statip, pada bagian terdapat kiap yang berfungsi sebagai sentring waterpass.
2.     Bagian atas yang digerakkan secara horizontal.
3.     Bagian teropong, untuk membidik rambu dan memperbesar bayangan rambu.
Penentuan jarak digunakan untuk mengontrol benar atau tidaknya pembacaan benang diafragma waterpass.

dij = k * (BA – BB)
 




Dimana            BA      = Bacaan benang atas
                                    BB       = Bacaan benang bawah
                                    dij            = Jarak optis (m)
                                    k          = konstanta
0,1       jika bacaan rambu dalam satuan          milimeter (mm)
1,0       jika bacaan rambu dalam satuan          centimeter (cm)
10,0     jika bacaan rambu dalam satuan          desimeter (dm)
100      jika bacaan rambu dalam satuan          meter (mm)






Gambar 2.1 Alat Ukur Sipat Datar         
Suatu alat ukur sipat datar dapat dikatakan dalam kondisi baik dan dapat digunakan dalam pengukuran, bila :
1.     Gelembung nivo kotaknya tepat berada ditengah lingkaran pada busur nivo kotak (berkoinsidensi), maka :
a.     Garis bidik harus benar-benar sejajar dengan garis jurusan bidang nivo. Garis bidik adalah garis yang menghubungkan antar fokus lensa okuler dengan fokus lensa objektif.
b.     Sumbu tegak I (tegak) harus sejajar dengan garis gaya berat.
c.     Garis jurusan nivo harus tegak lurus sumbu tegak.
2.     Benang  diafgrama mendatar harus tegak lurus sumbu tegak.
Garis mendatar pada prinsipnya merupakan garis bidik teropong yang diletakkan mendatar. Dengan garis bidik tersebut akan didapat bacaan rambu yang ada di depan waterpass. Beda tinggi didapat dari selisih nilai tinggi alat dengan nilai benang tengah.

∆h     = k* (TA-TB)
 


Dimana :
∆h   = Beda tinggi (m)
BT  = Benang Tengah
TA  = Tinggi Alat


                                                             Gambar 2.2 Prinsip Sipat Datar

2.2.1  Pengukuran Sifat datar
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengukuran sipat datar :
a.    Jika ditemui jarak antar 2 titik (A-B) berjauhan, mka sebaiknya pengukuran dibagi menjadi beberapa bagian pengukuran yang ditandai dengan patok-patok.
b.   Sebelum menggunakan alat waterpass periksa dahulu kesalahan garis bidik alat diman harga koreksinya adalah rata-rata dari pemeriksaan kesalahan garis bidik sebelum dan sesudah pengukuran setiap harinya.
c.    Lakukan pengukuran untuk setiap slag genap untuk tiap bagian pengukuran, dan pindahkan rambu secara selang seling agar kesalahan nol rambu dapat tereliminir langsung.
d.   Letakkan waterpass sedemikian rupa, sehingga jarak alat ke rambu depan sama dengan jarak alat ke rambu belakang.
e.    Dirikan waterpass pada tanah yang stabil/keras.
f.    Sebelum pengukuran, gelembung nivo tabung harus berada tepat ditengah lingkaran.
g.    Dahulukan pembacaan rambu belakang baru rambu muka.
h.   Pembacaan skala rambu sebaiknya dimulai dari pembacaan benang tengah, atas kemudian bawah.



i.      
2.2.2  Cara Penentuan Beda Tinggi dengan Alat Sipat Datar
1.     Menempatkan alat di atas salah satu titik yang akan ditentukan tingginya.





Gambar 2.3 Alat Sipat Datar di atas Salah Satu Titik

∆hAB= (TA-TB)/100

Beda tinggi antara A dan B adalah :


Dimana: TA           = Tinngi Alat waterpass                                             (mm)
              BT            = Bacaan Benang Tengah                                            (mm)
              ∆hAB              = Beda tinggi hasil pengukuran dari A dan B (m)
2.     Menempatkan alat sipat datar diantara dua titik yang akan ditentukan beda tingginya.
 









Beda tinggi adalah :

∆hAB= (bt-mt)/1000
∆hAB =

∆hAB =


Dimana : bt       = Bacaan benang tengah rambu belakang                        (mm)
mt     = Bacaan benang tengah rambu muka                            (mm)
∆hAB = Beda tinggi hasil pengukuran dari A dan B                 (m)

3.     Menempatkan alat diluar kedua titik yang akan dihitung beda tingginya.
     Teknik ini dilakukan apabila terdapat kendala penempatan alat diantara kedua titik tersebut.







Gambar 2.5 Alat Sipat Datar di Luar Kedua Titik

Beda tingginya adalah :

∆hAB = (mt1-mt2)/1000
 



Dimana :     MT1    = Bacaan benang tengah rambu A                   (mm)
                   MT2    = Bacaan benang tengah rambu B                   (mm)
                 ∆hAB = Beda tinggi hasil pengukuran dari A dan B       (m)

2.3       Alat Ukur Sipat Ruang
Dengan alat ukur sipat ruang (theodolite) kita dapat mengukur sudut-sudut dua titik atau lebih dan sudut curaman terhadap bidang yang horizontal pada titik pembacaan. Dengan alat ini kita akan mendapatkan suatu sudut horizontal dan vertikal. Ketelitian pembacaan sudut tergantung antara lain dari garis tengah lingkaran horizontal berskala dan garis tengah lingkaran vertikal berskala menjadi pelengkap Theodolite.

2.3.1   Konstruksi Theodolite
Secara umum konstruksi Theodolite terdiri dari 3 (tiga) bagian utama, yaitu :
1.     Bagian bawah yang tidak dapat bergerak dan berlandaskan pada statip.
2.     Bagian atas yang dapat digerakkan secara horizontal.
3.    Bagian teropong yaitu alat bidik yang dapat digerakkan secara vertikal dan bersamaan dengan bagian atasnya dapat digerakkan secara horizontal.

Pada theodolite dikenal tiga macam sistem sumbu yaitu :

x

y

z



Gambar 2.6 Sistem Sumbu pada Theodolite
a.     Sumbu I, sejajr dengan garis gaya berat (menuju pusat bumi);
b.     Sumbu II, sejajar dengan bidang nivo dan tegak lurus dengan Sumbu I;
c.      Sumbu nivo indek (nivo tabung koinsidensi) sejajar dengan garis bidik.
               Pada theodolite dapat dikatakan dalam keadaan baik atau sempurna dan layak digunakan untuk pengukuran apabila :
a.     Sumbu nivo aldehide (nivo tabung) tegak lurus sumbu I;
b.     Garis bidik tegak lurus sumbu II;
c.     Sumbu II tegak lurus sumbu I;
d.     Sumbu nivo indek (nivo tabung koinsidensi) sejajar dengan garis bidik atau koinsidensi, bila garis bidik distel horizontal.
Catatan :
a.     Nivo kotak, adalah nivo yang berguna mengatur sentring alat ke target.
b.     Nivo aldehide, nivo yang mengatur agar sumbu I benar-benar tegak.
c.     Nivo indeks, adalah nivo yang mengatur sumbu II benar-benar datar.

2.3.2   Macam-macam Theodolite
A.         Menurut bagiannya
1.     Theodolite WILD T-0
Tingkat ketelitian alat ini rendah, dengan pembagian skala terkecil dari 1’-10’. Tempat pembacaan skala horizontal dan skala terpisah, bayangan yang nampak pada teropong adalah terbalik. Alat ini mempunyai kompas sendiri sehingga pembacaan horizontal langsung menunjukkan arah utara kompas, sedangkan pembacaan vertikal menunjukkan zenith.






              Gambar 2.7 Theodolite WILD T-0




2.     Theodolite SOKKISHA TS-20A
Theodolite ini mempunyai tingkat ketelitian yang sangat rendah dengan pembagian skala terkecil adalah 1’. Theodolite ini mempunyai sistem dua tingkat, yang bertujuan apabila hendak melakukan pengukuran horizontal, maka bacaan skala vertikal harus 900 agar kedudukan alat benar-benar horizontal.
                                                                                       






    
Gambar 2.8 Theodolite SOKKISHA TS-20A

3.     Theodolite TM20E
Tingkat ketelitian dari theodolite ini dapat dibaca sampai ketelitian 20” melalui satu teropong. Apabila alat ini diutarakan terlebih dahulu maka bacaan horizontalnya adalah bacaan azimuth geografis. Bayangan yang terlihat pada alat ini adalah tegak.
                                                            
                                                            



                 Gambar 2.9  Theodolite TM20E
4.     Theodolite NIKON NE20S
Theodolite ini merupakan theodolite yang menggunakan sistem digital, dengan tingkat ketelitian 20”, cara penggunaannya sama dengan Theodolite TM20E.






                Gambar 2.9  Theodolite NE20S



5.     Theodolite NIKON NE100

vizier

Fokus diafragma

Lensa okuler
 






Fokus objek
                                                                                                               

Battery case
                                                                                                               

                                                                             

Pengunci gerak vertikal
                                                                             

Pengunci gerak horizontal

Penghalus gerak vertikal

Nivo tabung

Base plat

Nivo kotak

klap


Penghalus gerak horizontal
 











                 

B.    Berdasarkan kebutuhan tingkat ketelitian pengukuran sudutnya:
1.     Theodolite dengan ketelitian rendah (low precision), dengan pembagian skala terendah1’-10’. Contoh WILD T-0, SOKKISHA 60, DAN Zeiss theo-080A.
2.     Theodolite dengan ketelitian sedang (medium precision), dengan pembagian skala terendah 1’-10’. Contoh Fennel FT-1A, Kern DKM-1, WILD T1, WILD T16 dan Kern K1-A, Zeiss theo-010A.
3.     Theodolite teliti (high precision), drngan pembagian skala terkecil antara 1’-10’. Contoh Kern DKM-2A, Nikon NT-3.
4.     Theodolite sangat teliti (highest precision), dengan skala terkecil lebih dari 1’. Contoh WILD T-3, Kern DKM-3, Zeiss theo-002.
2.3.3    Cara Pemasangan dan Pengaturan Theodolite
1.     Pasang statip diatas titik tetap pada tanah, kencangkan pengunci statip. Usahakan dasar statip sedatar mungkin untuk memudahkan pengaturan nivo kotak dan nivo tabung (nivo aldehide).
2.     Ambil theodolite dari kotak alat dengan hati-hati.
3.     Pasang theodolite pada tatakan statip dan kunci. Kemudian atur kedudukan theodolite dan kaki statip sampai tepat ditengah patok. Kemudian kencangkan skrup pengunci.
4.     Lakukan sentring optis pada theodolite
5.     Lakukan sentring nivo kotak pada theodolite.
6.     Lakukan sentring nivo tabung pada theodolite.




2.3.4    Pengukuran Sudut dengan Theodolite
Berdasarkan kedudukan alat bidik atau vizier, theodolite mempunyai 2 macam pembacaan yaitu :
1.     Pembacaan biasa, bila posisi pengunci vertikal menghadap ke si pengamat.
2.     Pembacaan luar biasa, bila posisi pengunci vertikal membelakangi si pengamat.

2.4       Alat Ukur Jarak
2.4.1   Secara Konvensional





Gambar 2.13 Pita Ukur
2.4.2   Secara Elektronis
Dilakukan dengan alat EDM (Electronic Distance Meter). Dengan alat ini diperlukan alat tambahan berupa reflektor yang berfungsi mengembalikan gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh EDM kembali ke alat tersebut agar dapat dilakukan pemprosesan perhitungan jarak.
2.4.3   Metoda Tachymetry

d = k* (BA-BB) sin2V
Jarak ditentukan dengan menggunakan prinsip trigonometri. Jarak ini didapat dengan rumus :

            Dimana            d= Jarak                                              (m)
                                    BA      = Bacaan benang atas
                                    BB       = Bacaan benang bawah
2.5       Alat Bantu Pengukuran
1.    

Landasan Theodolite
Statip

Sekrup pengunci theodolite dengan statip

Bagian kaki yang dapat dinaik turunkan
 











Gambar 2.14 Statip

Sekrup pengunci
 




2.     Rambu Ukur





                                                   
Gambar 2.15 Rambu Ukur

3.     Unting-unting





Gambar 2.16 Unting-unting




4.     Kompas





                                                                       

Gambar 2.17 Kompas
2.6      Sumber-sumberKesalahan
Beberapakesalahansistematis yang bersumberdarikesalahan yang mungkinterdapatpadasuatualatTheodolit ,diantaranyaadalah :
a.       Kesalahan miringnya sumbu I (sumbu tegak).
Yaitu bila kedudukan sumbu I miring terhadap unting-unting alat, atau dengan kata lain bahwa sumbu I tidak sejajar dengan arah garis gaya berat.
b.      Kesalahan miringnya sumbu II (sumbu mendatar).
Yaitu bila kedudukan sumbu II tidak tegak lurus terhadap sumbu I
c.       Kesalahan kolimasi.
Yaitu bila garis bidik tidak tegak lurus terhadap sumbu II
d.      Kesalahan eksentrisitas.
Yaitu bila kedudukan pusat sumbu I (pusat nonius) tidak tepat berhimpit dengan pusat lingkaran skala horizontal.
e.       Kesalahan diametral.
Yaitu bila letak nonius I tidak tepat berhadapan dengan nonius II
f.       Kesalahan indeks.
Yaitu tidak tepatnya letak indeks bacaan lingkaran skala vertikal, bila mana teropong diarahkan secara horizontal (mendatar) diperoleh harga bacaan pada lingkaran skala vertikal tidak dapat menunjukkan arah 0o (pada sistem sudut miring) atau tidak tepat menunjuk angka 90o (pada sistem sudut Zenith)
g.       Kesalahan pembagian skala, yang umumnya kesalahan langsung dari pabrik.

            Kesalahan-kesalahan sistematis tersebut diatas dapat dieliminir (dapat dihilangkan) secara langsung di lapangan dengan menggunakan metoda pengukuran tertentu, yaitu :
a.       Bila suatu sudut diukur dengan cara pengukuran satu seri rangkap (pengukuran sudut pada posisi B dan LB), maka harga sudut rata-rata yang diperoleh dari bacaan biasa dan luar biasa ((B + LB)/2), bebas dari kesalahan.
a)      Miringnya sumbu I (sumbu tegak), yaitu bila kedudukan sumbu I miring terhadap unting-unting alat, atau dengan kata lain bahwa sumbu I tidak sejajar dengan arah garis gaya berat.
b)      Kolimasi, yaitu bila garis bidik tidak tegak lurus terhadap sumbu II.
c)      Diametral, yaitu bila letak nonius I tidak tepat berhadapan dengan nonius II.
d)      Kesalahan indeks (bila yang diukur sudut vertikal).
b.      Bila dilakukan pembacaan sudut pada nonius I dan pada nonius II, maka  harga sudut rata- ratanya bebas dari kesalahan eksentrik (eksentrisitas).

2.6.1 Kesalahan Pada Pengukuran Beda Tinggi
Kesalahan-kesalahan yang terjadi pada pengukuran beda tinggi dengan menggunakan alat ukur sipat datar (Waterpass), dapat dikelompokkan kedalam :
a.Kesalahan si pengukur
b.   Kesalahan alat ukur
c.Kesalahan karena pengaruh refraksi dan kelengkungan bumi
2.6.2      Kesalahan Si Pengukur
          Kesalahan-kesalahan yang dilakukan si pengukur dalam melakukan pengukuran , antara lain :
1.   Pengukur mempunyai panca indera (mata) yang tidak sempurna
2.   Pengukur kurang cermat, kurang hati-hati dan lalai serta tidak paham dalam menggunakan alat ukur dan dalam melakukan pembacaan rambu
2.6.3  Kesalahan Alat Ukur
A.         Kesalahan Garis Bidik
                                 Kesalahan garis bidik adalah kesalahan yang terjadi akibat tidak sejajarnya garis bidik dengan garis nivo. Pada alat ukur waterpass walaupun telah dirancang sedemikian rupa dan tidak dapat digerak-gerakkan dalam arah vertikal sehingga diharapkan pengukuran beda tinggi lebih teliti, namun kesalahan garis bidik yang mungkin terjadi sebaiknya tetap diperhitungkan, karena hal ini sangat berpengaruh terhadap hasil pengukuran beda tinggi yang dilakukan.
                                 Kesalahan garis bidik merupakan kesalahan sistematis yang bersumber dari alat. Oleh karena itu, harganya dapat diketahui dengan jalan pengecekan khusus nyang harus dilakukan dua kali, yaitu sebelum dan sesudah melakukan pengukuran sipat datar dalam satu hari pengukuran.




B.         Kesalahan Nol Rambu
                                  Pada umumnya dalam melakukan pengukuran sipat datar, digunakan dua rambu ukur. Salah satu atau kedua rambu ukur tersebut karena sering dipakai menyebabkan bagian bawah rambu (disekitar skala nol) ada yang telah aus dan akibatnya panjang rambu lebih pendek dari yang sebenarnya.
                                  Kesalahan nol rambu dapat secara langsung  dieliminir dilapangan, dengan jalan membagi seksi dalam jumlah genap dan meletakkan rambu secara selang-seling. Dengan cara demikian, rambu yang diletakkan pada titik awal (belakang) akan berfungsi sebagai rambu muka pada seksi terakhir atau ditempatkan pada titik akhir ukuran.
C.        Kesalahan Miringnya Rambu
                                  Bila rambu tidak berdiri betul-betul tegak, akan mengakibatkan hasil pengukuran sipat datar  tidak lagi benar karena dipengaruhi oleh kesalahan miringnya rambu. Oleh karena itu, pada waktu pengukuran harus diusahakan agar rambu benar-benar tegak, sebab kesalahan akibat kemiringan rambu tidak dapat dieliminir langsung dilapangan.

D.        Kesalahan pembagian skala rambu
                                 Pembagian skala pada rambu seharusnya adalah sama untuk setiap intervalnya, apabila ada interval yang tidak sama maka rambu tersebut memiliki kesahahan pembagian skala. Kesalahan tersebut tidak dapat dihilangkan. Oleh karena itu,  gunakanlah rambu yang baik dalam pengukuran.


2.6.1.2  Kesalahan karena Pengaruh Refraksi dan Kelengkungan Bumi
                        Apabila dilakukan pengukuran sipat datar dari titik P ke Q (lihat gambar), maka menurut defenisi beda tinggi titik P dan Q adalah :

hPQ   =   t – m”

 



           
                        Tetapi dari data hasil pengukuran bila tidak dipengaruhi refraksi udara, maka  garis bidik akan menunjukkan skala m’, harga (m’–m”) ini disebut “kesalahan pengaruh kelengkungan bumi”, dimana :

( m’ – m” )     =     D2/2R

 



                        karena lapisan udara di P atau Q mempunyai kerapatan yang tidak sama, maka garis bidik ke m’ akan dibiaskan ke m,  harga (m’-m”) ini disebut “kesalahan pengaruh refraksi udara”, dimana :

( m  -  m” )      =      k   x   D2/2R

 




(  m  -  m”  )    =    (  m’  -  m”  )  -  (  m’  -  m  )
=    (  1  -  k  )   x   D2/2R

                         Jadi harga kesalahan pengaruh refraksi dan kelengkungan bumi(m–m”)adalah :

           


h   =   ((  1  -  k  ) / (  2R  ))   x   (  Db2  -  Dm2  )

            Apabila  dilakukan pengukuran sipat datar antara titik O dan Q, maka akan diperoleh harga kesalahan pengaruh refraksi dan kelengkungan bumi :

   Dimana D h             = Kesalahan pengaruh refraksi dan kelengkungan bumi
                                          kl   =Koefisien refraksi udara ( 0,14 )
                                          R   =Jari-jari bumi ( 6370m)
                                          Db =Jarak alat kerambu belakang
                                          Dm            =Jarak alat kerambu muka

Pusat bumi

Bidang nivo O


R

R

R

O

P

Q

Bidang nivo Q

A


L

Bidang nivo P


Bidang  nivo A
nivo A

m’

m”



Gambar 2.18PengaruhKelengkunganBumiTerhadapPengukuran

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar